05 November 2019

­­

BARUS  DALAM SEJARAH
Kawasan Percaturan Politik, Agama dan Ekonomi Dunia
Oleh: Misri A. Muchsin[1]

1.      Pendahuluan
                Barus adalah satu bekas kota tua, Bandar, dan kota dagang internasional sejak berabad-abad lalu, terutama dalam rentang abad 12-17 M.[2] Dalam sejarahnya yang panjang pernah menjadi pusat perdagangan dunia-internasional Timur dan Barat atau mancanegara. Barus dalam sejarahnya pernah berhubungan intens dengan dua kawasan dari Timur Tengah, yaitu Persia pada satu sisi, dan bagian Timur Laut Tengah pada sisi lain.[3] Dalam sejarahnya yang panjang juga, Barus telah pernah menjadi pengeksport hasil bumi seperti damar, kemenyan, kapur barus, lada, kulit binatang dan lainnya. Semua hasil bumi dimaksud diproduksi dari alam dan wilayah di sekitarnya, seperti dari pedalaman Tanah Karo, Simalungun, Toba, Singkil dan pulau-pulau di sekitarnya.[4]
                Sejak abad 12 M, dan malah ada yang berpendapat sejak sebelumnya, Barus sudah menjadi mitra dagang orang Tamil, Cina, Persia, Armenia dan orang-orang Nusantara lainnya, termasuk Marco Polo pernah mendatangi kawasan dan negeri ini. Hal itu tidak lain kecuali karena Barus maju pesat sebagai kota dagang dunia, sehingga terkenal ke mancanegara dan warga dunia berhasrat mengunjunginya.
                Barus dalam prasasti Tamil dari Lobu Tua yang berasal dari tahun 1088 disebutkan dan dikenal dengan situsnya dengan nama Varocu. Situs itu juga memberi gambaran perbedaan antara pemukiman Barus dengan pelabuhannya. Dari itu ada istilah nama lain yang disebut-sebut dalam sejarah dan seolah sulit untuk dipisahkan yaitu Fansur dan Barus. Menurut keterangan satu naskah tua berbahasa Armenia, Pant’chour atau Panchor adalah untuk menyebut Pansur, dimaksudkan terletak di Labu Tua.[5] Di sanalah dan pada masa jaya Barus-Pansur inilah diperkirakan lahir dan besar seorang ulama Besar, Hamzah al-Fansuri,[6] dan sekaligus terbantahkan pendapat ahli arkeologis, Mckanon, yang mengatakan ulama yang satu ini lahir, besar, berkembang dan  mengembangkan karirnya di Ujung Pancu,  di Aceh Besar. Disebutkan, asal kata Pansuri yang ada di ujung nama Hamzah al-Fansuri, kata ahli ini merujuk pada Pancu atau Ujung Pancu itu sendiri.
                Kemudian, meningkatnya Barus-Pansur dalam perdagangan skala internasional pada umumnya, dan  dengan wilayah kawasan sekitar pada khususnya, terkait erat juga dengan kondisi perpolitikan dan ekonomi perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Pada abad ke-16 M, tepatnya pada tahun 1511 M, Melaka yang terkenal sebagai kota dagang internasional umat Islam, telah jatuh kepada dan dikuasai penuh oleh Portugis. Melaka telah dijadikan pusat dan benteng sentral Portugis di Asia Tenggara.  
                Pasca Melaka jatuh ke Portugis, secara perlahan peta perdagangan Asia Tenggara, terutama bagi pedagang Islam berubah dan mulailah terpencar dan berbagi konsentrasi perdagangan mereka ke wilayah-wilayah lain, termasuk ke Sumatra yang terkenal begitu banyak pelabuhan dagangnya. Di antara pelabuhan dagang dimaksud  mulai Teluk Bayur (Emma Haven) di Sumatra Barat; Natal, Sibolga, di Sumatra bagian Timur-Utara; dan pelabuhan-pelabuhan yang berada di wilayah kerajaan Aceh terutama di wilayah Barat-Selatan Aceh, misalnya Trumon, Singkil dan Barus.
                Dalam perkembangannya, Barus pernah menunjukkan yang berarti sebagai kota pelabuhan dagang bagi pedagang Islam Nusantara dan Mancanegara sehingga sampai saat terakhir masih ditemukan peninggalan arkeologisnya di bidang ini berupa sisa pancang dermaga, gudang dan tanggul penahanan gelombang, yang posisi dan kondisi sekarang sebagiannya, sesuai hasil observasi penulis dan rombongan, sudah tertimbun dengan tanah dan sudah berada jauh di daratan serta sudah menjadi perkampungan dan persawahan penduduk.
                Satu hal yang berhubungan langsung dengan perkembangan ekonomi perdagangan di kota pelabuhan Barus, ikut berkembang dan mewarnakan keagamaan penduduk setempat dengan Islam, karena para pedagang yang datang ke sana adalah pedagang Islam yang datang dari berbagai negerinya, seperti dari India, Hadralmaut, dari Nusantara sendiri serta dari lainnya. Tulisan kecil ini mencoba memfokuskan pada eksistensi Barus sebagai Kota Pelabuhan Dagang  Muslim yang pernah berjaya dan dengan pedagang-pedagang Muslim telah mewarnakan keagamaan penduduk dengan Islam.  Akan tetapi bagaimana wilayah ini kemudian berlangsungnya kolonialisasi Portugis dan kemudian Belanda melakukan kristenisasi, sehingga terakhir ini menjadikan Islam sebagai minoritas di sana, akan dielaborasi dalam halaman-halaman berikut.
2. Barus Dalam Perdagangan dan Hubungan Ekonomi Dunia
Barus sudah dikenal oleh dunia internasional  timur dan barat sejak abad ke 7 M, yaitu sebagai Bandar pelabuhan ekspor komoditi pasar dunia seperti kapur barus, kemenyan, damar, rotan, lada dan hasil hutan lainnya. Menurut satu informasi dari seorang pedagang Cina Barus menjual kapur Barus yang paling tinggi mutu dan sifatnya yang murni.  Orang-orang  Mesir zaman Fir’oun sudah ramai datang ke Barus, untuk membeli kemenyan putih dan kapur barus untuk keperluan  sarana ketika orang meninggal termasuk untuk mengawetkannya guna menjadi mumie di Afrika pada umumnya. Mumie Ramses kedua dan ketiga yang meninggal di laut merah konon khabarnya dimumiekan dengan kapur barus dan rempah-rempah dari Barus, Ophir khususnya yang terletak di dekat Natal.[7]
                Dalam sejarahnya yang panjang, Barus sebagai kota dagang internasional, pernah menjadi kota dagang Timur dan Barat. Hal ini terkait erat dengan sumber daya alam atau sumber bumi yang dimiliki wilayah ini. Kapur Barus adalah hasil bumi yang cukup terkenal di dunia internasional, dan konon khabarnya factor ini pula yang menjuluki kawasan ini dengan namanya “Barus”.
                Kapur Barus telah menjadi komoditi andal dalam sejarah perekonomian Barus. Komoditi ini sejak berabad dan malah berpuluh abad lalu telah menjadi yang penting bagi dan sebagai kebutuhan  manusia untuk timur dan barat. Di kawasan Timur Tengah misalnya Mesir, menjadikan kapur Barus sebagai benda pengawet mayat atau mumie. Berabad-abad lalu orang Mesir Kuno mencari kapur Barus untuk mengawetkan mayat-mayat orang ternama seperti mayat/mumi Fir’oun yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan yang ditempatkan di dalam satu mesium di Cairo, yaitu di Ramshe Musium. Mumi Fir’oun diawetkan adalah dengan kapur Barus.
                Hanya saja amat disayangkan, untuk dibuktikan sekarang Barus dalam sejarahnya sebagai penghasil kapur barus,untuk didapatkan batang kapur barus di kawasan itu tidak ada. Batang kapur barus menghasilkan getah, dan getahnya itulah yang diproses menjadi kapur barus. Menurut keterangan penduduk, jikalah ada satu batang atau dua, jika masuk dalam hutan belukar yang masih jarang dijangkau manusia. Berikut satu bibit batang Barus yang baru ditanam di komplek makam Mahligai, yang berhasil diabadikan beberapa waktu lalu:



  
                Berkaitan perdagangan  Barus dengan Timur Tengah umumnya, dan dengan Persia khususnya sudah berlangsung sejak zaman Kuno, yaitu sebelum zaman Lobu Tua,[8] Kemaharajaan Sassanid telah melakukan komunikasi dagang dengan Barus sejak abad ke-4 M, terutama untuk komoditi kamper, karena termasuk dalam daftar obat-obatan peradaban Sassaid. Begitu juga dengan pasukan Arab-Islam sejak abad ke-6 M menemukan tempayan yang berisi kamper ketika merebut istana ibu kota Ctesiphon. Semua kamper ini terkuak informasi dari tulisannya Abu Salih al-Armini, yang mengatakan bahwa di Fansur-Barus tempat asalnya kemper.[9]
                Kemudian temuan arkelogis dari Lobu Tua yang berasal dari Timur Dekat, artepak-artepak yang paling kuno dikatakan berasal dari Teluk Persia. Di samping itu teks Ajaib al-Hindi, yang terbit sekitar tahun 1.000 M telah mencatat sejumlah pelayaran dari teluk Persia menuju Barus/Fansur. Di teluk Persia terdapat jaringan Siraf, adalah titik tolak jalur Maritim menuju Timur Tengah, termasuk ke Barus. Ketika itu Siraf adalah satu pelabuhan yang utama dalam imfor kemper yang tidak lain berasal dari Barus. Abad 11 M, kemper merupakan komoditi perdagangan handal terutama bagi pedagang Muslim untuk Timur Tengah. Ibn Hawqal dalam kitabnya Kitab Surat al-Ard, menggambarkan Siraf sebagai tempat/pelabuhan yang kaya dari bahan yang diinfor melalui laut, misalnya gaharu, amber dan kemper.[10]
                Hubungan Barus dengan Cina juga memiliki bukti arkeologis yang ditemukan di Lobu Tua. Di sana ditemukan keramik hasil infor dari Cina konon khabarnya menapai 2,5 abad masa infornya, karena begitulah banyak keramik yang tersimpan di sana. Tidak hanya itu, di Barus ditemukan sekelompok Cina pada masa Lobu Tua, yang dianggap sebagai pedagang Keramik dan bermakna bahwa Barus- Cina memiliki hubungan dalam perdagangan pada masa klasik hingga abad ke-8 M, walaupun perdagangannya tidak langsung, tetapi melalui perantara yang memasok keramik ke Barus, dan sebaliknya yang menginfor kemper ke Cina.

2.Barus Dalam Sejarah  Penyebaran Islam
Menurut satu keterangan, proses masuknya Islam ke Barus khususnya, Sumatra dan Nusantara pada umumnya terkait erat dan diawali dari perjalanan para pedagang Arab yang singgah di Barus. Peristiwa itu sudah dimulai sejak zaman Nabi Muahammad SAW, yaitu orang-pedagang Arab yang pergi berdagang ke China-Tiongkok dan mereka kebanyakan singgah di Bandar Barus terlebih dahulu.  Misalnya kisah seorang pedagang Arab yang bernama Wahab bin Abu Kasbah dan rombongannya, ingin berdagang ke China dan singgah di pulau Morsala, Sibolga. Di pulau tersebut Wahab sambil istirahat memperbaiki kapalnya, mengadakan shalat berjamaah dan membeli 10 budak yang berasal dari Nias, kemudian dibawa ke China guna dididik untuk menjadi ulama, dan di pulau Morsala sendiri ditetapkan seorang khadhi yang bernama Saka. Ialah yang berperan mengislamkan penduduk setempat di kemudian hari. Sementara 10 budak yang sudah diislamkan dan dididik hingga menjadi ulama, menjadi penyebar Islam ke berbagai wilayah di kemudian hari.  Berkaitan dengan penyebaran Islam di Nusantara, Barus menjadi salah satu salurannya. Ada satu keterangan menarik berkenaan dengan kedatangan Islam di Barus, sesuai dengan penjelasan buku The Relegious Life of Chinese Muslims,  bahwa keberadaan Islam di Barus terkait dengan misi Dinasti Tang di bawah  kepemimpinan Kaisar Kao Tsung, yang mengirim misi persahabatan ke Madinah yang ketika itu memerintah Khalifah Usman bin Affan, dan dalam waktu mengirim pula misi yang sama ke China. Ketika itulah misi dari Madinah dalam perjalanan ke China melalui laut, singgah transit terlebih dahulu di Barus untuk  penambahan kebutuhan makanan dan menunggu peralihan angin-musim. Dengan demikian selama berada di Barus utusan Madinah ini berdakwah menyebarkan Islam kepada penduduk setempat, sehingga mulailah Islam dikenal di Barus. Malah sumber ini juga menginformasikan bahwa misi dari pemerintah Madinah dari Barus melanjutkan perjalanannya ke Tulang Bawang, Lampung, pusat pemerintahan Sriwijaya di Palembang, ke Brunai dan baru selanjutnya ke Kanton, China.
Keterangan lain, yaitu dari Kitab Sejarah Melayu, yang menyebutkan bahwa Syeikh Ismail yang berasal dari Mekkah, khilafahnya di Madinah mau menuju Samudera Pasai, tetapi tidak tahu persis kawasan tujuannya. Ia memilih  singgah lebih dahulu di Bandar Barus, dan memperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat. Kemudian dari sana baru ia melanjutkan ke Pasai untuk menyebarkan Islam pula di sana.  Dari ungkapan terakhir memberi sinyal bahwa Barus merupakan wilayah yang mula-mula menerima dan didatangi Islam. Kemudian baru ke wilayah lain, yaitu ke Peureulak dan Pasai.

Nama pulau Morsala, konon khabarnya dibuat oleh orang Arab sendiri, yang berarti dengan “Mor”  artinya pulau, dan “Sala” adalah shalat atau sembahyang. Jadi Morsala artinya pulau tempat shalat; pulau singgahan orang-orang Arab ketika melakukan pelayaran dari Barat ke Timur dan sebaliknya. Pulau Morshala, yang pernah dijadikan tempat singgahan dan tempat shalat berjamaah oleh pedagang Muslim dari Timur Tengah ketyika pergi dan pulang berdagang sampai ke Cina, karena letaknya yang strategis, indah dan tidak jauh dari daratan, namun tidak berpenghuni. Mereka merasa nyaman singgah dan beribadah di sana karena jauh dari penduduk setempat dan dari gangguan berbagai unsur alam lainnya.
Ada sumber lain  menyebutkan bahwa Islam sebelum didakwahkan di Peureulak, Pasai dan wilayah Aceh lainnya mula-mula datang-menapak  adalah di Barus (satu wilayah yang pernah menjadi wilayah kekuasaan Aceh),  kemudian baru di dan ke Peureulak. Hal ini seperti beberapa keterangan sumber hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu menguatkan hal itu seperti
berikut:

36(44) Setelah berapa lamanya kemudian daripada sabda Nabi SAW itu, maka terdengarlah kepada segala isi negeri Mekkah nama negeri Samudera. Maka Syarif Makkah pun menyuruh sebuah kapal membawa segala perkakas kerajaan, seraya disuruhnya singgah ke negeri Ma’abri. Adapun nama nakhoda kapal itu Syeih Ismail namanya. Maka kapal itu pun berlayarlah, lalu ia singgah di negeri Ma’abri. Maka kapal Syeih Ismail itu pun berlabuh di laut.

37(44-45) Berapa lamanya di laut maka sampailah kapal kepada sebuah negeri, Fansuri namanya. Maka segala orang isi negeri Fansuri itu pun masuklah Islam. ...Berapa lamanya maka sampai kepada sebuah negeri pula Thobri (Lamri) namanya. Maka orang Thobri itu pun masuk Islam ... Berapa lamanya maka sampai lah ke negeri Haru namanya. Maka segala orang dalam negeri Haru itu pun masuk Islam. ... Maka fakir itu pun bertanya orang dalam negeri itu ”Di mana negeri yang bernama negeri Samudera?” Maka kata orang Haru itu ”Sudah lalu”. Maka fakir itu pun naik ke kapal lalu berlayar pula. Maka jatuh ke negeri Perlak. Maka mereka itu pun diislamkannya. Maka kapal itu pun berlayar ke Samudera.[11] 

Dari keterangan inilah mungkin yang menjadi argumentasi awal penetapan Barus sebagai awal titik nol Islam di Nusantara beberapa bulan yang lalu. Hanya saja perlu dinyatakan, Barus  bukan menjadi kerajaan Islam periode awal di Nusantara, apa lagi sebutan sebagai satu kekuatan politik Islam utama. Kerajaan Islam awal adalah Peureulak, Pasai dan selanjutnya Aceh Darussalam.  Proses pencarian Samudera, untuk mewujudkan perintah seperti yang dimaksudkan sabda Nabi Muhammad SAW, menjadi tujuan utama dan mereka singgah di beberapa tempat seperti tersebut di atas, menjadi wujud Islam di sana, termasuk di Peureulak. Untuk maksud tersebut pada pertengahan abad ke-8 M, Syarif Mekkah di zaman khalifah Harun al-Rasyid, bertitah dan menyiapkan sebuah kapal dari Jeddah yang dinakhodai oleh Syekh Ismail beserta Fakir Muhammad (Bekas Raja di Malabar) untuk menyiarkan Islam di Samudera. Kapal dimaksud mula-mula singgah di Fansuri-Barus. Syeikh Ismail dan rombongan turun ke darat beberapa saat, menemukan beberapa orang untuk diislamkan di sana serta meminta sekaligus mengajar mereka untuk membaca al-Qur’an, kemudian baru meneruskan perjalanan-pelayarannya mencari Samudera, tetapi mereka singgah dahulu di bandar Peureulak.[12]
Dengan demikian jelaslah bahwa memang ada kemungkinan pengislaman pertama berlangsung di Pansuri-Barus yang juga juga Aceh, sebab wilayah ini memang pernah menjadi wilayah teritorial kesultanan Aceh. Hal ini sangat beralasan, seperti diungkapkan oleh Ibrahim Alfian,[13] karena secara geografis wilayahnya yang strategis, yang terletak antara lautan Hindia dan Laut Cina Selatan yang menghubungkan negeri-negeri sebelah Timur, seperti Cina dan Jepang; dan dengan negeri-negeri sebelah Barat, yaitu Anak Benua India, Parsi/Persia dan negara-negara Arab, Afrika, serta dengan benua Eropa. Barus karena yang paling ujung Barat, maka para pendatang-pedagang dari Timur dan Barat menjadikan pelabuhan Barus transito perdagangan-rempah-rempah termasuk kapur Barus yang terkenal, sambil menunggu giliran datangnya angin musim timur-laut dan Barat-Daya sebagai tempataya yang akan membawa mereka bersama barang-barang dagangannya ke tempat tujuan masing-masing, termasuk ke Peureulak.
                Berkaitan dengan penyebaran Islam di Nusantara, Barus menjadi salah satu titik sentral saluran utamanya. Ada satu keterangan menarik berkenaan dengan kedatangan Islam di Barus, sesuai dengan penjelasan dari buku The Relegious Life of Chinese Muslims,  bahwa keberadaan Islam di Barus terkait dengan misi Dinasti Tang di bawah  kepemimpinan Kaisar Kao Tsung, yang mengirim misi persahabatan ke Madinah yang ketika itu yang memerintah adalah Khalifah Usman bin Affan, dan dalam waktu itu mengirim pula misi yang sama ke China. Ketika itulah misi dari Madinah dalam perjalanan ke China melalui laut, singgah transit terlebih dahulu di Barus untuk  penambahan kebutuhan makanan dan menunggu peralihan angin-musim. Dengan demikian selama berada di Barus utusan Khalifah Usman bin ‘Affan di Madinah ini berdakwah menyebarkan Islam kepada penduduk setempat, sehingga mulailah Islam dikenal di Barus. Malah sumber ini juga menginformasikan bahwa misi dari pemerintah Madinah dari Barus melanjutkan perjalanannya ke Tulang Bawang, Lampung, pusat pemerintahan Sriwijaya di Palembang, ke Brunai dan baru selanjutnya ke Kanton, China.[14]
Keterangan lain, yaitu dari Kitab Sejarah Melayu, yang menyebutkan bahwa Syeikh Ismail yang berasal dari Mekkah, sebagai utusan khilafah atau pemerintahannya di Madinah mau menuju Pasai, tetapi tidak tahu persis kawasan tujuannya. Ia memilih  singgah lebih dahulu di Bandar Barus, dan memperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat. Kemudian dari sana baru ia melanjutkan ke Pasai untuk menyebarkan Islam pula di sana.  Dari ungkapan terakhir memberi sinyal bahwa Barus merupakan wilayah yang mula-mula menerima dan didatangi Islam. Kemudian baru ke wilayah lain, yaitu ke Perlak atau Pasai.[15]
Pendapat yang mengatakan bahwa Barus yang mula-mula didatangi Islam di Nusantara, yaitu sejak abad ketujuh dan dibawa oleh para pedagang dari Hadhral Maut Arab,[16] dilihat secara geografis alam Barus yang terletak di bagian paling ujung yang menjorok ke laut, amatlah memungkinkan, kemudian dari sana baru disebar Islam ke daerah-daerah lain, seperti Peureulak dan Pasai serta kawasan Bandar Aceh.
Barus pernah menjalankan hukum Allah /syari’at Islam secara penuh. Hal ini seperti terungkap dalam satu teks naskah yang berasal dari keturunan raja-raja Barus:
…kemudian daripada itu dangan berapa lama antaranya mati pula Tuan Mualif berganti pula dangan anaknya bernama Tuan Marah Pangsu. Barapa lama suda Tuan Marah Pangsu menjadi raja. Maka datang pula satu orang bernama Sutan Ibrahim dari Tarusan Seberang dengan banyak orang sertanya. Maka dia membikin kampong dalam rimbo di hilir kampong itu [Kota Bariang]. Maka dinamainya kampung itu kampung Gugu’. Hatta dangan takdir Allah ta’ala pada suatu hari Sutan Ibrahim berjalan-jalan ka hilir ka tepi laut dalam pada itu maka kelihatan olehnya satu kulit buah banggis yang terkupas dengan pisau. Dalam pada itu maka terpikir dalam hatinya, “Kalau bagitu aku rasa ada orang punya kampung di mudik kampung ini kalau bagitu kita coba cari”. Dalam pada itu maka Sutan Ibrahim pergi cari ka mudik sungai itu dalam pada itu maka bertemu olehnya satu dusun dangan ada orang dalam itu dusun. Dalam pada itu maka bertanya orang punya dusun itu / kepada Sutan Ibrahim katanya, “Hai tuan-tuan yang lalu dari mana tuan-tuan datang kemari atau orang dari mana tuan?” katanya. Dalam pada itu maka menjawab Sutan Ibrahim katanya, “Kamu orang mana?” Kata orang dusun itu, “Aku orang negri di sini juga”, katanya. Dalam pada itu Sutan Ibrahim pun berkata katanya, “ Aku pun orang negri ini juga”. Dalam pada itu maka Sutan Ibrahim kembali ka hilir ka kampungnya. Kemudian dari pada itu maka orang punya dusun itu pun menghadap kepada rajanya mengasih tahu bahasa ada orang datang ka dusunnya lain rupa orang itu, “Tetapi aku lihat bukan orang dari sini tetapi aku tanya dia menjawab katanya dia orang dari sini juga tetapi rasa hatiku itu orang barangkali ada bikin tempat dalam rimbo di hilir kampung ini atau di muara”.­ Kemudian daripada Sutan Marah Pangsu Raja itu suruh cari masu’ rimbo pada masa itu maka pergi orang mencari ka hilir masu’ rimbo maka bertemulah satu kampung baharu bersusu’ rupanya. Maka lantas bertanya kepada orang dalam kampung itu katanya, “siapa yang membikin kampung di sini?” maka menjawab Sutan Ibrahim katanya, “Aku”. Bertanya pula lagi, “siapa tuan punya nama mengapa tuan bikin kampung di sini?” katanya.  Dalam pada itu maka menjawab pula Sutan Ibrahim katanya, “Aku yang bernama Sutan Ibrahim serta dangan ra’yatku membikin kampung di sini di atas aku punya tanah sendiri”. Dalam pada itu maka utusan pun kembali mengabarkan kepada rajanya bagaimna perkata’an Sutan Ibrahim. Dalam pada itu diperiksa itu perkara dalam pada itu maka sampai itu Sutan Marah. Pangsu Raja marah kepada Sutan Ibrahim. [Sutan Ibrahim mengusulkan kepada Sutan Marah Pangsu untuk mengucapkan sumpah tentang kedudukannya sebagai pemilik tanah] Dalam pada itu pada bareso’ harinya maka berangkatla itu tuanku Sutan Marah Pangsu ka kota Guguk membari bersumpah kepada Sutan Ibrahim. [Sutan Ibrahim bersumpah dengan menambah bahwa dia bersama rakyatnya bersedia menerima hukuman Allah jika dia membohong] setelah suda bersumpah perkara pun habis itu kampung tetaplah dia punya kuasa di situ adanya.[17] 
Sudah pernahnya menerapkan Syari’at Islam di Barus, tentu ini memberi gambaran bahwa kawasan dan kota pelabuhan ini sudah pernah dipimpim oleh pemerintahan yang Islam dan masyarakatnyapun sudah mayoritas Muslim. Sebab, mustahil jika sebaliknya,  misalnya pemerintahnya non-Muslim dan atau masyarakatnya belum Islam, tentu tidaklah mungkin terlaksananya dan diberlakukannya syari’at Islam di sana.   
Komunitas Islam malah diprediksi sudah pernah dominan di Barus hingga zaman memasuki periode penjajahan. Hanya saja pada periode penjajahan Belanda, sesuai dengan salah salah satu missi mereka menyebarkan agama, yaitu Kristen, maka penyebaran agama ini berlangsung dengan pesat hingga memasuki zaman kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karenanya hingga masa terakhir ini Islam di Barus dan di sekitarnya di kabupaten Tapanuli  Tengah Islam sudah menjadi minoritas.           
                       
4.Barus Dalam Percaturan Agama dan Sosial Muttakhir
                Harus diakui bahwa Barus dalam sejarahnya yang panjang, pernah menjadikan Islam sebagai kekuatan social dan politik yang berwujud kerajaan dan pernah berjaya di sana.  Oleh karena itu Barus dalam sejarahnya diidentikkan dengan kerajaan Islam dengan penduduknya mayoritas muslim. Hanya saja dalam kenyataan terakhir, dengan sebab yang tidak diketahui sudah terbalik 180 derajat. Umat Islam di Barus dalam waktu terakhir sudah menjadi minoritas dan terus berkurang jumlahnya, sementara Kristen menjadi bertambah mayoritas. Menurut keterangan salah seorang Camat di KabupatenTapanuli Tengah, tepatnya camat kecamatan Barus Utara, Rudolf Sihotang (beragama Kristen Protestan) menyebutkan bahwa di kecamatannya hanya 14 kepala keluarga  atau dua persen yang muslim, dan selebihnya adalah Kristen Katolik dan Protestan. Di Kabupaten Tapanuli Tengah terdapat 37 persen Muslim dan 63 persen penduduknya beragama Kristen.[18]
                Akan tetapi berbeda dengan keterangan Camat Kecamatan Barus Utara, menurut sensus penduduk tahun 2010 Sebagian besar penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah memeluk Agama Kristen dengan total persentase hampir 57% di mana Kristen Protestan (45,31%) dan Kristen Katolik (11,61%), diikuti oleh Agama Islam (42,71 %), Buddha (0,07 %), Hindu (0,01 %), Khong Hu Chu (0,001%) dan Agama-Agama Kepercayaan lainnya (0,11 %). Agama Islam di Tapanuli Tengah dianut oleh Suku Mandailing, Suku Melayu, dan Suku Pendatang antara lain Suku Jawa. Agama Kristen Protestan/Katolik banyak dianut oleh Sebagian Besar Suku Batak. Agama Buddha dianut oleh orang-orang yang beretnis Tionghoa. Sementara Agama Hindu banyak dianut oleh Suku-Suku dari Bali.[19]
                Dari dua keterangan di atas menunjukkan perbedaan jumlah umat Islam dalam persentasenya antara 37 % dan 42,71 %. Kelihatannya keterangan camat Barus Utara bahwa perbandingan Islam dengan Kristen di Tapanuli Tengah lebih up to date, karena merupakan penyampaian data terakhirnya, sementara sensus 2010 sudah berselang waktu lima tahun dan hal ini memberi gambaran juga bahwa penambahan Kristen dan penurunan kwantitas umat Islam sangat signifikan di kabupaten Tapanuli Tengah.
                Satu hal yang mencengangkan jika dicermati dengan seksama, makam Papan Tinggi atau yang disebut juga makam Tangga Seribu adalah makam Syeikh Mahmud, berada di kecamatan Barus Utara, tepatnya di desa Penanggahan. Makam Syeikh Mahmud berada di puncak gunung dengan ketinggian sekitar 215 M dari permukaan laut dan untuk mencapai makam tersebut harus menaiki 780 anak tangga, walaupun disebut “makam tangga seribu”. Tentu tidak mudah bagi seseorang ke sana kalau belum terbiasa berjalan kaki jauh dan mendaki gunung. Sering pengunjung hanya mampu mendaki 100 anak tangga, atau sepertiga dari keseluruhan anak tangga. Kenyataan demikian menrut informan, terkait erat dengan kondisi tubuh dan kesehatan pengunjung, di samping tergantung pula pada niat dan tujuan pengunjung mendatanginya makam tangga seribu tersebut. Jikalah ada di antara niatnya salah, misalnya untuk berpacaran ke sana atau berria-riaan di sana, kebanyakan pengunjung tersebut sering tidak mencapai makam Syeikh Mahmud yang berada di puncak perbukitannya. Malah lebih dari itu, karena salah niat dan ria pengunjung, sering mengalami sakit penyakit-penyakit aneh, termasuk kemasukan, yang kadang terpaksa digotong ke bawah untuk mencari pengobatan pada masyarakat sekitarnya.
                Anehnya di desa ini yang muslim hanya satu keluarga, yaitu keluarga yang menjaga makam itu sendiri dan tinggal di kaki gunung-perbukitan makam tangga seribu itu sendiri. Berikut adalah seputar Makam Syeikh Mahmud/ Makam Tangga Seribu/ Makam Papan Tinggi, beserta tangganya setelah dihitung tidak mencapai seribu tangga, tapi hanya 780 tangga. Perbukitan itu sendiri tingginya menurut satu keterangan adalah 268 m, dan setinggi itu pula ditata tangga menuju ke puncaknya yang di sana terdapat makam Syeikh Mahmud. Tangga yang dibangun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatra Utara itu lebarnya sekitar 1,20 cm dan berjumlah 780 anak tangganya. Menuju Makam Papan Tinggi yang disebut juga dengan makam Tangga Seribu dan makam Syeikh Mahmud, yang terletak di puncak satu perbukitan desa Penanggahan, kecamatan Barus Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah membutuhkan stamina yang tinggi, sebab pendakian di lereng perbukitan terjal, juga dengan ketinggi yang jarang didapatkan di tempat lainnya. Oleh karenanya seseorang ke sana membutuhkan stamina dan persiapan yang cukup, termasuk minuman dan makanan rutinnya, untuk menjaga kemungkinan kelelahan dan kehausan.
                Pertanyaannya adalah siapa sebenarnya Syeikh Mahmud yang dikebumikan di puncak gunung dengan tarikh seperti tertera di nisannya. Seperti informasi lisan yang didapatkan, bahwa kehadiran Syeikh Mahmud dari Arab Hadhratul Maut), telah ikut membuka tabir sejarah penyebaran Islam di negeri Barus. Ialah yang dianggap raja atau sultan negeri Barus Mandailing di pantai Barat Sumatera Utara, bertarikh 44 Hijriah, dan batu nisannya sudah berumur 1400 tahun.
                Sebenarnya di Barus bukan hanya makam Syeikh Mahmud yang menjadi bukti sejarah perkembangan dan kemajuan Islam di negeri tersebut, tetapi masih banyak situs lain, seperti makam Mahligai di desa Aek Dakka yang terdapat makam Syeikh Rukunuddin, makam Syeikh Zainal Abidin, makam Syeikh Siddiq dan lain-lainnya yang tersebar hamper di seluruh Barus.Makam-makam ini bagi masyarakat Barus menganggapnya sebagai makam para Aulia, yang terkenal dengan makam 44 Aulia. Berikut gambaran kondisi makam Mahligai, yang berhasil dikunjungi rombongan penyelidikan dari Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh beberapa waktu lalu.
                Menurut keterangan dari satu penyelidikan  sebelumnya, bahwa jumlah makam di Mahligai dan makam ulama dan orang-orang Muslim kenamaan lainnya sekitar Barus umumnya mencapai ribuan dan malah puluh ribuan. Hal ini menandakan di sekitar Barus pada masa lalu, khususnya dalam rentang abad 12-17 M telah pernah hidup dan berkembang masyarakat Islam dengan segala kehebatan dan kebesarannya. Misalnya saja kalaulah bukan karena kehebatan dan kebesarannya Syeikh Mahmud, manalah mungkin makam atau kuburannya berada dan sanggup dikebumikan di satu puncak perbukitan yang tingginya mencapai 215 meter dari permukaan tanah datarannya. Begitu juga dengan batu-batu nisan yang terdapat di makam / kuburan tersebut umumnya adalah batu nisan infor dari India dan paling tidak dari ibu kota kerajaan Aceh Darussalam atau Banda Aceh sekarang. Semua itu membutuh biaya besar dan kesungguhan serta kepercayaan masyarakat dan pimpinanny a di Barus ketika itu untuk mewujudkannya kemewahan dan kemuliaan sehingga berwujud kenyataan historis yang dapat disaksiakan hari ini.
5. Penutup
                Berdasarkan paparan di atas dapat dipastikan bahwa Barus pada masa lalu berpenduduk mayoritas Muslim dan merupakan perkampungan dengan pimpinannya juga Muslim. Pelabuhannya yang diramaikan dan menganut system kehidupan dalam Islam, baik tata pergaulan,  kepemimpinan dan regulasi dalam perdagangan-perekonomian lainnya tentu menganut yang ada dalam Islam pada umumnya.  
                Dalam realitas historisnya kemudian, Barus sejak zaman Kolonial Belanda digerogoti oleh Kristenisasi, dan realitas demikian berlangsung hingga zaman kemerdekaan RI. Dari kenyataan yang demikian itulah Barus dan sekitarnya di Tapanuli Tengah pada masa muttakhir berwujud sebagai Muslim minoritas.







[1][1] Prof. Dr. Misri A. Muchsin adalah Guru Besar Sejarah Pemikiran Modern Dalam Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry Banda Aceh (2007-sekarang); Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Provinsi Aceh (2009-sekarang); dan Ketua Pusat  Studi Melayu Aceh (PUSMA) Sejak September 2017-sekarang; dan  pernah menjadi Ketua Asosiasi Dosen Ilmu-Ilmu Adab Se-Indonesia selama tiga periode (2008-2017).

[2] Daniel Perret dan Heddy Surachman (Penyunting), Barus: Masyarakat dan Hubungan Luar (Abad ke-12-Pertengahan Abad ke-17, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2015, hal. 535-539.
[3] Claude Guilliot et al., Barus Seribu Tahun yang lalu, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Forum Jakarta-Paris, 2008), hal. 57.
[4] Irini Dewi Wanti dkk., Barus: Sejarah Maritim dan Peninggalannya di Sumatera Utara, (Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006), hal.1-2.
[5] Daniel Perret dan Heddy Surachman (Penyunting), Barus: Masyarakat… hal. 540.
[6] Hamzah al-Fansuri, berdasarkan satu  ungkapannya  sendiri melalui satu bunyi syairnya, ada di antara ahli menyebutkan ia lahir di Syahru Nawi, Siam atau Thailand sekarang. Akan tetapi berdasarkan informasi di Singkil sendiri dan tidak kalah kuat argumentasinya pula, bahwa ulama ini lahir di Fansur, Singkil. Hanya saja tanggal dan tahun berapa ia lahir, tidak ada yang mengungkapkan. Kecuali itu, seperti disebutkan Alwi shihab, sebagaimana perkiraan umumnya penulis bahwa ia hidup antara tahun 1550-1605 M atau ketika kesultanan Aceh  dipimpin oleh dan dari masa sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah  hingga awal masa pemerintahan sultan Iskandar Muda (1606-1636). Begitu juga dengan tahun dan tempat meninggalnya, para penulis tidak mendapat informasi yang kongkrit, kecuali itu, ada isyarat dan penulis memperkirakan ia meninggal dunia pada tahun 1607 M.  Berkenaan dengan tempat ia meninggal dan sekaligus makam-kuburannya, menurut informasi masyarakat  Aceh Singkil sekarang,  adalah di Oboh, dekat Sungai Rondeng Simpang kiri, Subussalam. Masyarakat mengkleim salah satu makam yang ada di sana adalah makam al-Fansuri.   Setelah penulis mengamati kelihatannya benar bahwa kuburan ulama ini, sebagaimana daerah kelahirannya adalah di kawasan Singkil, yang setelah pemekaran berada di wilayah territorial Kota Subussalam. Lih. Panitia Seminar Internasional Hamzah Fansuri, Keputusan Seminar, (Singkil: Pemda Singkil, 2002); cp. Yusni Saby, "Hamzah Fansuri Aset Nusantara", Makalah, (Singkil: Panitian Seminar Internasional Hamzah Fansuri, 16-18- Janusiari 2002), hlm. 1-3.
[7] Irini Dewi  Wanti et al.,  Barus … hlm. 21.
[8] Istilah Lobu Tua adalah satu pelabuhan yang berada di Barus, didirikan oleh orang Chettiar yang terdampar secara kebetulan di sana. Orang-orang Chettiar yang terdampar di Barus inilah yang membangun pelabuhan Lobu Tua, kemudian banyak pula didatangi oleh bangsa-bangsa lain, sehingga demikian terkenal pelabuhan ini dan menyimpan banyak khazanah, terutama keramik dari Cina. Claude Guilliot et al., Barus Seribu Tahun yang lalu, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Forum Jakarta-Paris, 2008), hal. 60.

[9] Claude Guilliot et al., Barus Seribu Tahun yang lalu, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Forum Jakarta-Paris, 2008), hal. 57.

[10] Claude Guilliot et al., Barus Seribu Tahun yang lalu, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Forum Jakarta-Paris, 2008), hal. 57.

[11] Tun Seri Lanang, Sulalat al-Salatin, Muhammad Haji Salleh alih bahasa, (Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan & DBP, 1997), h. 44-45.
[12] Abdullah Munchi,menjelaskannya dalam Sejarah Melayu, seperti dikutip oleh M. Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), h. 120.
[13] Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999), h. 1.
[14] Irini Dewi  Wanti et al.,  Barus … hlm. 22; dan Dada Meraxa, Sejarah Masuknya Islam ke Bandar Barus Sumatera Utara, (Medan: Sasterawan, 1973), hlm. 16.
[15] Dada Meraxa, Sejarah Masuknya Islam …, hlm. 16.
[16] Amir Siahaan dan Rusdin Tanjung, Sejarah Ringkas Kota Barus-Negeri Tua, Risalah 44 Aulia Allah Dari Hajratul Maut Timur Tengah Kota Barus-Kota Basra, Stensilan, 2012.
[17] Daniel Perret dan Heddy Surachman (Penyunting), Barus: Masyarakat… hal. 536-537.
[18] Hasil wawancara dengan Rudolf Sihotang, Camat Barus Utara, April 2015.
[19] www.id.wikipedia.org

Tidak ada komentar: