BARUS DALAM SEJARAH
Kawasan
Percaturan Politik, Agama dan Ekonomi Dunia
1. Pendahuluan
Barus adalah satu bekas kota
tua, Bandar, dan kota dagang internasional sejak berabad-abad lalu, terutama
dalam rentang abad 12-17 M. Dalam
sejarahnya yang panjang pernah menjadi pusat perdagangan dunia-internasional
Timur dan Barat atau mancanegara. Barus dalam sejarahnya pernah berhubungan
intens dengan dua kawasan dari Timur Tengah, yaitu Persia pada satu sisi, dan
bagian Timur Laut Tengah pada sisi lain.
Dalam sejarahnya yang panjang juga, Barus telah pernah menjadi pengeksport
hasil bumi seperti damar, kemenyan, kapur barus, lada, kulit binatang dan
lainnya. Semua hasil bumi dimaksud diproduksi dari alam dan wilayah di
sekitarnya, seperti dari pedalaman Tanah Karo, Simalungun, Toba, Singkil dan
pulau-pulau di sekitarnya.
Sejak abad 12 M, dan malah ada
yang berpendapat sejak sebelumnya, Barus sudah menjadi mitra dagang orang
Tamil, Cina, Persia, Armenia dan orang-orang Nusantara lainnya, termasuk Marco
Polo pernah mendatangi kawasan dan negeri ini. Hal itu tidak lain kecuali
karena Barus maju pesat sebagai kota dagang dunia, sehingga terkenal ke
mancanegara dan warga dunia berhasrat mengunjunginya.
Barus dalam prasasti Tamil dari
Lobu Tua yang berasal dari tahun 1088 disebutkan dan dikenal dengan situsnya
dengan nama Varocu. Situs itu juga
memberi gambaran perbedaan antara pemukiman Barus dengan pelabuhannya. Dari itu
ada istilah nama lain yang disebut-sebut dalam sejarah dan seolah sulit untuk
dipisahkan yaitu Fansur dan Barus. Menurut keterangan satu naskah tua berbahasa
Armenia, Pant’chour atau Panchor adalah untuk menyebut Pansur,
dimaksudkan terletak di Labu Tua. Di
sanalah dan pada masa jaya Barus-Pansur inilah diperkirakan lahir dan besar
seorang ulama Besar, Hamzah al-Fansuri,
dan sekaligus terbantahkan pendapat ahli arkeologis, Mckanon, yang mengatakan
ulama yang satu ini lahir, besar, berkembang dan mengembangkan karirnya di Ujung Pancu, di Aceh Besar. Disebutkan, asal kata Pansuri
yang ada di ujung nama Hamzah al-Fansuri, kata ahli ini merujuk pada Pancu atau
Ujung Pancu itu sendiri.
Kemudian, meningkatnya
Barus-Pansur dalam perdagangan skala internasional pada umumnya, dan dengan wilayah kawasan sekitar pada khususnya,
terkait erat juga dengan kondisi perpolitikan dan ekonomi perdagangan di
kawasan Asia Tenggara. Pada abad ke-16 M, tepatnya pada tahun 1511 M, Melaka
yang terkenal sebagai kota dagang internasional umat Islam, telah jatuh kepada dan
dikuasai penuh oleh Portugis. Melaka telah dijadikan pusat dan benteng sentral
Portugis di Asia Tenggara.
Pasca Melaka jatuh ke Portugis,
secara perlahan peta perdagangan Asia Tenggara, terutama bagi pedagang Islam
berubah dan mulailah terpencar dan berbagi konsentrasi perdagangan mereka ke
wilayah-wilayah lain, termasuk ke Sumatra yang terkenal begitu banyak pelabuhan
dagangnya. Di antara pelabuhan dagang dimaksud
mulai Teluk Bayur (Emma Haven) di Sumatra Barat; Natal, Sibolga, di
Sumatra bagian Timur-Utara; dan pelabuhan-pelabuhan yang berada di wilayah
kerajaan Aceh terutama di wilayah Barat-Selatan Aceh, misalnya Trumon, Singkil dan
Barus.
Dalam perkembangannya, Barus
pernah menunjukkan yang berarti sebagai kota pelabuhan dagang bagi pedagang
Islam Nusantara dan Mancanegara sehingga sampai saat terakhir masih ditemukan
peninggalan arkeologisnya di bidang ini berupa sisa pancang dermaga, gudang dan
tanggul penahanan gelombang, yang posisi dan kondisi sekarang sebagiannya,
sesuai hasil observasi penulis dan rombongan, sudah tertimbun dengan tanah dan
sudah berada jauh di daratan serta sudah menjadi perkampungan dan persawahan
penduduk.
Satu hal yang berhubungan
langsung dengan perkembangan ekonomi perdagangan di kota pelabuhan Barus, ikut
berkembang dan mewarnakan keagamaan penduduk setempat dengan Islam, karena para
pedagang yang datang ke sana adalah pedagang Islam yang datang dari berbagai
negerinya, seperti dari India, Hadralmaut, dari Nusantara sendiri serta dari
lainnya. Tulisan kecil ini mencoba memfokuskan pada eksistensi Barus sebagai
Kota Pelabuhan Dagang Muslim yang pernah
berjaya dan dengan pedagang-pedagang Muslim telah mewarnakan keagamaan penduduk
dengan Islam. Akan tetapi bagaimana
wilayah ini kemudian berlangsungnya kolonialisasi Portugis dan kemudian Belanda
melakukan kristenisasi, sehingga terakhir ini menjadikan Islam sebagai
minoritas di sana, akan dielaborasi dalam halaman-halaman berikut.
2. Barus Dalam Perdagangan dan
Hubungan Ekonomi Dunia
Barus
sudah dikenal oleh dunia internasional
timur dan barat sejak abad ke 7 M, yaitu sebagai Bandar pelabuhan ekspor
komoditi pasar dunia seperti kapur barus, kemenyan, damar, rotan, lada dan
hasil hutan lainnya. Menurut satu informasi dari seorang pedagang Cina Barus
menjual kapur Barus yang paling tinggi mutu dan sifatnya yang murni. Orang-orang
Mesir zaman Fir’oun sudah ramai datang ke Barus, untuk membeli kemenyan
putih dan kapur barus untuk keperluan
sarana ketika orang meninggal termasuk untuk mengawetkannya guna menjadi
mumie di Afrika pada umumnya. Mumie Ramses kedua dan ketiga yang meninggal di
laut merah konon khabarnya dimumiekan dengan kapur barus dan rempah-rempah dari
Barus, Ophir khususnya yang terletak di dekat Natal.
Dalam sejarahnya yang panjang,
Barus sebagai kota dagang internasional, pernah menjadi kota dagang Timur dan
Barat. Hal ini terkait erat dengan sumber daya alam atau sumber bumi yang dimiliki
wilayah ini. Kapur Barus adalah hasil bumi yang cukup terkenal di dunia
internasional, dan konon khabarnya factor ini pula yang menjuluki kawasan ini
dengan namanya “Barus”.
Kapur Barus telah menjadi
komoditi andal dalam sejarah perekonomian Barus. Komoditi ini sejak berabad dan
malah berpuluh abad lalu telah menjadi yang penting bagi dan sebagai
kebutuhan manusia untuk timur dan barat.
Di kawasan Timur Tengah misalnya Mesir, menjadikan kapur Barus sebagai benda
pengawet mayat atau mumie. Berabad-abad lalu orang Mesir Kuno mencari kapur
Barus untuk mengawetkan mayat-mayat orang ternama seperti mayat/mumi Fir’oun
yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan yang ditempatkan di dalam satu
mesium di Cairo, yaitu di Ramshe Musium. Mumi Fir’oun diawetkan adalah dengan
kapur Barus.
Hanya saja amat disayangkan,
untuk dibuktikan sekarang Barus dalam sejarahnya sebagai penghasil kapur
barus,untuk didapatkan batang kapur barus di kawasan itu tidak ada. Batang
kapur barus menghasilkan getah, dan getahnya itulah yang diproses menjadi kapur
barus. Menurut keterangan penduduk, jikalah ada satu batang atau dua, jika
masuk dalam hutan belukar yang masih jarang dijangkau manusia. Berikut satu
bibit batang Barus yang baru ditanam di komplek makam Mahligai, yang berhasil
diabadikan beberapa waktu lalu:
Berkaitan perdagangan Barus dengan Timur Tengah umumnya, dan dengan
Persia khususnya sudah berlangsung sejak zaman Kuno, yaitu sebelum zaman Lobu
Tua, Kemaharajaan
Sassanid telah melakukan komunikasi dagang dengan Barus sejak abad ke-4 M,
terutama untuk komoditi kamper, karena termasuk dalam daftar obat-obatan
peradaban Sassaid. Begitu juga dengan pasukan Arab-Islam sejak abad ke-6 M
menemukan tempayan yang berisi kamper ketika merebut istana ibu kota Ctesiphon.
Semua kamper ini terkuak informasi dari tulisannya Abu Salih al-Armini, yang
mengatakan bahwa di Fansur-Barus tempat asalnya kemper.
Kemudian temuan arkelogis dari
Lobu Tua yang berasal dari Timur Dekat, artepak-artepak yang paling kuno
dikatakan berasal dari Teluk Persia. Di samping itu teks Ajaib al-Hindi, yang terbit sekitar tahun 1.000 M telah mencatat
sejumlah pelayaran dari teluk Persia menuju Barus/Fansur. Di teluk Persia
terdapat jaringan Siraf, adalah titik
tolak jalur Maritim menuju Timur Tengah, termasuk ke Barus. Ketika itu Siraf
adalah satu pelabuhan yang utama dalam imfor kemper yang tidak lain berasal
dari Barus. Abad 11 M, kemper merupakan komoditi perdagangan handal terutama
bagi pedagang Muslim untuk Timur Tengah. Ibn Hawqal dalam kitabnya Kitab Surat al-Ard, menggambarkan Siraf sebagai tempat/pelabuhan yang kaya
dari bahan yang diinfor melalui laut, misalnya gaharu, amber dan kemper.
Hubungan Barus dengan Cina juga
memiliki bukti arkeologis yang ditemukan di Lobu Tua. Di sana ditemukan keramik
hasil infor dari Cina konon khabarnya menapai 2,5 abad masa infornya, karena
begitulah banyak keramik yang tersimpan di sana. Tidak hanya itu, di Barus ditemukan
sekelompok Cina pada masa Lobu Tua, yang dianggap sebagai pedagang Keramik dan
bermakna bahwa Barus- Cina memiliki hubungan dalam perdagangan pada masa klasik
hingga abad ke-8 M, walaupun perdagangannya tidak langsung, tetapi melalui
perantara yang memasok keramik ke Barus, dan sebaliknya yang menginfor kemper
ke Cina.
2.Barus
Dalam Sejarah Penyebaran Islam
Menurut
satu keterangan, proses masuknya Islam ke Barus khususnya, Sumatra dan
Nusantara pada umumnya terkait erat dan diawali dari perjalanan para pedagang
Arab yang singgah di Barus. Peristiwa itu sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muahammad SAW, yaitu orang-pedagang Arab yang pergi berdagang ke China-Tiongkok
dan mereka kebanyakan singgah di Bandar Barus terlebih dahulu. Misalnya kisah seorang pedagang Arab yang
bernama Wahab bin Abu Kasbah dan rombongannya, ingin berdagang ke China dan
singgah di pulau Morsala, Sibolga. Di pulau tersebut Wahab sambil istirahat
memperbaiki kapalnya, mengadakan shalat berjamaah dan membeli 10 budak yang
berasal dari Nias, kemudian dibawa ke China guna dididik untuk menjadi ulama,
dan di pulau Morsala sendiri ditetapkan seorang khadhi yang bernama Saka. Ialah
yang berperan mengislamkan penduduk setempat di kemudian hari. Sementara 10
budak yang sudah diislamkan dan dididik hingga menjadi ulama, menjadi penyebar
Islam ke berbagai wilayah di kemudian hari.
Berkaitan dengan penyebaran Islam di Nusantara, Barus menjadi salah satu
salurannya. Ada satu keterangan menarik berkenaan dengan kedatangan Islam di
Barus, sesuai dengan penjelasan buku The
Relegious Life of Chinese Muslims,
bahwa keberadaan Islam di Barus terkait dengan misi Dinasti Tang di
bawah kepemimpinan Kaisar Kao Tsung,
yang mengirim misi persahabatan ke Madinah yang ketika itu memerintah Khalifah
Usman bin Affan, dan dalam waktu mengirim pula misi yang sama ke China. Ketika
itulah misi dari Madinah dalam perjalanan ke China melalui laut, singgah
transit terlebih dahulu di Barus untuk
penambahan kebutuhan makanan dan menunggu peralihan angin-musim. Dengan demikian
selama berada di Barus utusan Madinah ini berdakwah menyebarkan Islam kepada
penduduk setempat, sehingga mulailah Islam dikenal di Barus. Malah sumber ini
juga menginformasikan bahwa misi dari pemerintah Madinah dari Barus melanjutkan
perjalanannya ke Tulang Bawang, Lampung, pusat pemerintahan Sriwijaya di
Palembang, ke Brunai dan baru selanjutnya ke Kanton, China.
Keterangan
lain, yaitu dari Kitab Sejarah Melayu,
yang menyebutkan bahwa Syeikh Ismail yang berasal dari Mekkah, khilafahnya di
Madinah mau menuju Samudera Pasai, tetapi tidak tahu persis kawasan tujuannya.
Ia memilih singgah lebih dahulu di
Bandar Barus, dan memperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat. Kemudian
dari sana baru ia melanjutkan ke Pasai untuk menyebarkan Islam pula di sana. Dari ungkapan terakhir memberi sinyal bahwa
Barus merupakan wilayah yang mula-mula menerima dan didatangi Islam. Kemudian
baru ke wilayah lain, yaitu ke Peureulak dan Pasai.
Nama
pulau Morsala, konon khabarnya dibuat oleh orang Arab sendiri, yang berarti
dengan “Mor” artinya pulau, dan “Sala”
adalah shalat atau sembahyang. Jadi Morsala artinya pulau tempat shalat; pulau
singgahan orang-orang Arab ketika melakukan pelayaran dari Barat ke Timur dan
sebaliknya. Pulau Morshala, yang
pernah dijadikan tempat singgahan dan tempat shalat berjamaah oleh pedagang
Muslim dari Timur Tengah ketyika pergi dan pulang berdagang sampai ke Cina,
karena letaknya yang strategis, indah dan tidak jauh dari daratan, namun tidak
berpenghuni. Mereka merasa nyaman singgah dan beribadah di sana karena jauh
dari penduduk setempat dan dari gangguan berbagai unsur alam lainnya.
Ada sumber lain menyebutkan bahwa Islam sebelum didakwahkan di
Peureulak, Pasai dan wilayah Aceh lainnya mula-mula datang-menapak adalah di Barus (satu wilayah yang pernah
menjadi wilayah kekuasaan Aceh), kemudian baru di dan ke Peureulak. Hal ini
seperti beberapa keterangan sumber hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu
menguatkan hal itu seperti
berikut:
36(44) Setelah berapa lamanya kemudian daripada sabda Nabi SAW itu, maka
terdengarlah kepada segala isi negeri Mekkah nama negeri Samudera. Maka Syarif
Makkah pun menyuruh sebuah kapal membawa segala perkakas kerajaan, seraya
disuruhnya singgah ke negeri Ma’abri. Adapun nama nakhoda kapal itu Syeih Ismail
namanya. Maka kapal itu pun berlayarlah, lalu ia singgah di negeri Ma’abri.
Maka kapal Syeih Ismail itu pun berlabuh di laut.
37(44-45) Berapa lamanya di laut maka sampailah kapal kepada sebuah negeri,
Fansuri namanya. Maka segala orang isi negeri Fansuri itu pun masuklah Islam.
...Berapa lamanya maka sampai kepada sebuah negeri pula Thobri (Lamri) namanya.
Maka orang Thobri itu pun masuk Islam ... Berapa lamanya maka sampai lah ke
negeri Haru namanya. Maka segala orang dalam negeri Haru itu pun masuk Islam.
... Maka fakir itu pun bertanya orang dalam negeri itu ”Di mana negeri yang
bernama negeri Samudera?” Maka kata orang Haru itu ”Sudah lalu”. Maka fakir itu
pun naik ke kapal lalu berlayar pula. Maka jatuh ke negeri Perlak. Maka
mereka itu pun diislamkannya. Maka kapal itu pun berlayar ke Samudera.
Dari keterangan inilah mungkin yang menjadi
argumentasi awal penetapan Barus sebagai awal titik nol Islam di Nusantara
beberapa bulan yang lalu. Hanya saja perlu dinyatakan, Barus bukan menjadi kerajaan Islam periode awal di
Nusantara, apa lagi sebutan sebagai satu kekuatan politik Islam utama. Kerajaan
Islam awal adalah Peureulak, Pasai dan selanjutnya Aceh Darussalam. Proses pencarian Samudera, untuk mewujudkan
perintah seperti yang dimaksudkan sabda Nabi Muhammad SAW, menjadi tujuan utama
dan mereka singgah di beberapa tempat seperti tersebut di atas, menjadi wujud
Islam di sana, termasuk di Peureulak. Untuk maksud tersebut pada pertengahan
abad ke-8 M, Syarif Mekkah di zaman khalifah Harun al-Rasyid, bertitah dan
menyiapkan sebuah kapal dari Jeddah yang dinakhodai oleh Syekh Ismail beserta
Fakir Muhammad (Bekas Raja di Malabar) untuk menyiarkan Islam di Samudera.
Kapal dimaksud mula-mula singgah di Fansuri-Barus. Syeikh Ismail dan rombongan
turun ke darat beberapa saat, menemukan beberapa orang untuk diislamkan di sana
serta meminta sekaligus mengajar mereka untuk membaca al-Qur’an, kemudian baru
meneruskan perjalanan-pelayarannya mencari Samudera, tetapi mereka singgah dahulu
di bandar Peureulak.
Dengan demikian jelaslah bahwa memang ada
kemungkinan pengislaman pertama berlangsung di Pansuri-Barus yang juga juga
Aceh, sebab wilayah ini memang pernah menjadi wilayah teritorial kesultanan
Aceh. Hal ini sangat beralasan, seperti diungkapkan oleh Ibrahim Alfian,
karena secara geografis wilayahnya yang strategis, yang terletak antara lautan
Hindia dan Laut Cina Selatan yang menghubungkan negeri-negeri sebelah Timur,
seperti Cina dan Jepang; dan dengan negeri-negeri sebelah Barat, yaitu Anak
Benua India, Parsi/Persia dan negara-negara Arab, Afrika, serta dengan benua
Eropa. Barus karena yang paling ujung Barat, maka para pendatang-pedagang dari
Timur dan Barat menjadikan pelabuhan Barus transito perdagangan-rempah-rempah
termasuk kapur Barus yang terkenal, sambil menunggu giliran datangnya angin
musim timur-laut dan Barat-Daya sebagai tempataya yang akan membawa mereka
bersama barang-barang dagangannya ke tempat tujuan masing-masing, termasuk ke
Peureulak.
Berkaitan dengan penyebaran
Islam di Nusantara, Barus menjadi salah satu titik sentral saluran utamanya.
Ada satu keterangan menarik berkenaan dengan kedatangan Islam di Barus, sesuai
dengan penjelasan dari buku The Relegious
Life of Chinese Muslims, bahwa
keberadaan Islam di Barus terkait dengan misi Dinasti Tang di bawah kepemimpinan Kaisar Kao Tsung, yang mengirim
misi persahabatan ke Madinah yang ketika itu yang memerintah adalah Khalifah
Usman bin Affan, dan dalam waktu itu mengirim pula misi yang sama ke China.
Ketika itulah misi dari Madinah dalam perjalanan ke China melalui laut, singgah
transit terlebih dahulu di Barus untuk
penambahan kebutuhan makanan dan menunggu peralihan angin-musim. Dengan
demikian selama berada di Barus utusan Khalifah Usman bin ‘Affan di Madinah ini
berdakwah menyebarkan Islam kepada penduduk setempat, sehingga mulailah Islam
dikenal di Barus. Malah sumber ini juga menginformasikan bahwa misi dari
pemerintah Madinah dari Barus melanjutkan perjalanannya ke Tulang Bawang,
Lampung, pusat pemerintahan Sriwijaya di Palembang, ke Brunai dan baru
selanjutnya ke Kanton, China.
Keterangan
lain, yaitu dari Kitab Sejarah Melayu,
yang menyebutkan bahwa Syeikh Ismail yang berasal dari Mekkah, sebagai utusan khilafah
atau pemerintahannya di Madinah mau menuju Pasai, tetapi tidak tahu persis
kawasan tujuannya. Ia memilih singgah
lebih dahulu di Bandar Barus, dan memperkenalkan Islam kepada masyarakat
setempat. Kemudian dari sana baru ia melanjutkan ke Pasai untuk menyebarkan
Islam pula di sana. Dari ungkapan
terakhir memberi sinyal bahwa Barus merupakan wilayah yang mula-mula menerima
dan didatangi Islam. Kemudian baru ke wilayah lain, yaitu ke Perlak atau Pasai.
Pendapat
yang mengatakan bahwa Barus yang mula-mula didatangi Islam di Nusantara, yaitu
sejak abad ketujuh dan dibawa oleh para pedagang dari Hadhral Maut Arab, dilihat
secara geografis alam Barus yang terletak di bagian paling ujung yang menjorok
ke laut, amatlah memungkinkan, kemudian dari sana baru disebar Islam ke
daerah-daerah lain, seperti Peureulak dan Pasai serta kawasan Bandar Aceh.
Barus
pernah menjalankan hukum Allah /syari’at Islam secara penuh. Hal ini seperti
terungkap dalam satu teks naskah yang berasal dari keturunan raja-raja Barus:
…kemudian
daripada itu dangan berapa lama antaranya mati pula Tuan Mualif berganti pula
dangan anaknya bernama Tuan Marah Pangsu. Barapa lama suda Tuan Marah Pangsu
menjadi raja. Maka datang pula satu orang bernama Sutan Ibrahim dari Tarusan
Seberang dengan banyak orang sertanya. Maka dia membikin kampong dalam rimbo di
hilir kampong itu [Kota Bariang]. Maka dinamainya kampung itu kampung Gugu’.
Hatta dangan takdir Allah ta’ala pada suatu hari Sutan Ibrahim berjalan-jalan
ka hilir ka tepi laut dalam pada itu maka kelihatan olehnya satu kulit buah
banggis yang terkupas dengan pisau. Dalam pada itu maka terpikir dalam hatinya,
“Kalau bagitu aku rasa ada orang punya kampung di mudik kampung ini kalau
bagitu kita coba cari”. Dalam pada itu maka Sutan Ibrahim pergi cari ka mudik
sungai itu dalam pada itu maka bertemu olehnya satu dusun dangan ada orang
dalam itu dusun. Dalam pada itu maka bertanya orang punya dusun itu / kepada
Sutan Ibrahim katanya, “Hai tuan-tuan yang lalu dari mana tuan-tuan datang
kemari atau orang dari mana tuan?” katanya. Dalam pada itu maka menjawab Sutan
Ibrahim katanya, “Kamu orang mana?” Kata orang dusun itu, “Aku orang negri di
sini juga”, katanya. Dalam pada itu Sutan Ibrahim pun berkata katanya, “ Aku
pun orang negri ini juga”. Dalam pada itu maka Sutan Ibrahim kembali ka hilir ka
kampungnya. Kemudian dari pada itu maka orang punya dusun itu pun menghadap
kepada rajanya mengasih tahu bahasa ada orang datang ka dusunnya lain rupa
orang itu, “Tetapi aku lihat bukan orang dari sini tetapi aku tanya dia
menjawab katanya dia orang dari sini juga tetapi rasa hatiku itu orang
barangkali ada bikin tempat dalam rimbo di hilir kampung ini atau di muara”.
Kemudian daripada Sutan Marah Pangsu Raja itu suruh cari masu’ rimbo pada masa
itu maka pergi orang mencari ka hilir masu’ rimbo maka bertemulah satu kampung
baharu bersusu’ rupanya. Maka lantas bertanya kepada orang dalam kampung itu
katanya, “siapa yang membikin kampung di sini?” maka menjawab Sutan Ibrahim
katanya, “Aku”. Bertanya pula lagi, “siapa tuan punya nama mengapa tuan bikin
kampung di sini?” katanya. Dalam pada
itu maka menjawab pula Sutan Ibrahim katanya, “Aku yang bernama Sutan Ibrahim
serta dangan ra’yatku membikin kampung di sini di atas aku punya tanah
sendiri”. Dalam pada itu maka utusan pun kembali mengabarkan kepada rajanya
bagaimna perkata’an Sutan Ibrahim. Dalam pada itu diperiksa itu perkara dalam
pada itu maka sampai itu Sutan Marah. Pangsu Raja marah kepada Sutan Ibrahim.
[Sutan Ibrahim mengusulkan kepada Sutan Marah Pangsu untuk mengucapkan sumpah
tentang kedudukannya sebagai pemilik tanah] Dalam pada itu pada bareso’ harinya
maka berangkatla itu tuanku Sutan Marah Pangsu ka kota Guguk membari bersumpah
kepada Sutan Ibrahim. [Sutan Ibrahim bersumpah dengan menambah bahwa dia
bersama rakyatnya bersedia menerima hukuman Allah jika dia membohong] setelah
suda bersumpah perkara pun habis itu kampung tetaplah dia punya kuasa di situ
adanya.
Sudah
pernahnya menerapkan Syari’at Islam di Barus, tentu ini memberi gambaran bahwa
kawasan dan kota pelabuhan ini sudah pernah dipimpim oleh pemerintahan yang
Islam dan masyarakatnyapun sudah mayoritas Muslim. Sebab, mustahil jika
sebaliknya, misalnya pemerintahnya
non-Muslim dan atau masyarakatnya belum Islam, tentu tidaklah mungkin
terlaksananya dan diberlakukannya syari’at Islam di sana.
Komunitas
Islam malah diprediksi sudah pernah dominan di Barus hingga zaman memasuki
periode penjajahan. Hanya saja pada periode penjajahan Belanda, sesuai dengan
salah salah satu missi mereka menyebarkan agama, yaitu Kristen, maka penyebaran
agama ini berlangsung dengan pesat hingga memasuki zaman kemerdekaan Republik
Indonesia. Oleh karenanya hingga masa terakhir ini Islam di Barus dan di
sekitarnya di kabupaten Tapanuli Tengah
Islam sudah menjadi minoritas.
4.Barus
Dalam Percaturan Agama dan Sosial Muttakhir
Harus diakui bahwa Barus dalam
sejarahnya yang panjang, pernah menjadikan Islam sebagai kekuatan social dan
politik yang berwujud kerajaan dan pernah berjaya di sana. Oleh karena itu Barus dalam sejarahnya diidentikkan
dengan kerajaan Islam dengan penduduknya mayoritas muslim. Hanya saja dalam
kenyataan terakhir, dengan sebab yang tidak diketahui sudah terbalik 180
derajat. Umat Islam di Barus dalam waktu terakhir sudah menjadi minoritas dan
terus berkurang jumlahnya, sementara Kristen menjadi bertambah mayoritas.
Menurut keterangan salah seorang Camat di KabupatenTapanuli Tengah, tepatnya
camat kecamatan Barus Utara, Rudolf Sihotang (beragama Kristen Protestan) menyebutkan
bahwa di kecamatannya hanya 14 kepala keluarga
atau dua persen yang muslim, dan selebihnya adalah Kristen Katolik dan
Protestan. Di Kabupaten Tapanuli Tengah terdapat 37 persen Muslim dan 63 persen
penduduknya beragama Kristen.
Akan tetapi berbeda dengan keterangan
Camat Kecamatan Barus Utara, menurut sensus penduduk tahun 2010 Sebagian besar
penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah memeluk Agama Kristen dengan total
persentase hampir 57% di mana Kristen Protestan (45,31%) dan Kristen Katolik
(11,61%), diikuti oleh Agama Islam (42,71 %), Buddha (0,07 %), Hindu
(0,01 %), Khong Hu Chu (0,001%) dan Agama-Agama Kepercayaan lainnya
(0,11 %). Agama Islam di Tapanuli Tengah dianut oleh Suku Mandailing, Suku
Melayu, dan Suku Pendatang antara lain Suku Jawa. Agama Kristen Protestan/Katolik
banyak dianut oleh Sebagian Besar Suku Batak. Agama Buddha dianut oleh orang-orang
yang beretnis Tionghoa. Sementara Agama Hindu banyak dianut oleh Suku-Suku dari
Bali.
Dari dua keterangan di atas
menunjukkan perbedaan jumlah umat Islam dalam persentasenya antara 37 % dan 42,71
%. Kelihatannya keterangan camat Barus Utara bahwa perbandingan Islam dengan
Kristen di Tapanuli Tengah lebih up to date, karena merupakan penyampaian data
terakhirnya, sementara sensus 2010 sudah berselang waktu lima tahun dan hal ini
memberi gambaran juga bahwa penambahan Kristen dan penurunan kwantitas umat
Islam sangat signifikan di kabupaten Tapanuli Tengah.
Satu hal yang mencengangkan jika
dicermati dengan seksama, makam Papan Tinggi atau yang disebut juga makam
Tangga Seribu adalah makam Syeikh Mahmud, berada di kecamatan Barus Utara,
tepatnya di desa Penanggahan. Makam Syeikh Mahmud berada di puncak gunung
dengan ketinggian sekitar 215 M dari permukaan laut dan untuk mencapai makam
tersebut harus menaiki 780 anak tangga, walaupun disebut “makam tangga seribu”.
Tentu tidak mudah bagi seseorang ke sana kalau belum terbiasa berjalan kaki
jauh dan mendaki gunung. Sering pengunjung hanya mampu mendaki 100 anak tangga,
atau sepertiga dari keseluruhan anak tangga. Kenyataan demikian menrut
informan, terkait erat dengan kondisi tubuh dan kesehatan pengunjung, di
samping tergantung pula pada niat dan tujuan pengunjung mendatanginya makam
tangga seribu tersebut. Jikalah ada di antara niatnya salah, misalnya untuk
berpacaran ke sana atau berria-riaan di sana, kebanyakan pengunjung tersebut
sering tidak mencapai makam Syeikh Mahmud yang berada di puncak perbukitannya.
Malah lebih dari itu, karena salah niat dan ria pengunjung, sering mengalami
sakit penyakit-penyakit aneh, termasuk kemasukan, yang kadang terpaksa digotong
ke bawah untuk mencari pengobatan pada masyarakat sekitarnya.
Anehnya di desa ini yang muslim
hanya satu keluarga, yaitu keluarga yang menjaga makam itu sendiri dan tinggal
di kaki gunung-perbukitan makam tangga seribu itu sendiri. Berikut adalah
seputar Makam Syeikh Mahmud/ Makam Tangga Seribu/ Makam Papan Tinggi, beserta
tangganya setelah dihitung tidak mencapai seribu tangga, tapi hanya 780 tangga.
Perbukitan itu sendiri tingginya menurut satu keterangan adalah 268 m, dan
setinggi itu pula ditata tangga menuju ke puncaknya yang di sana terdapat makam
Syeikh Mahmud. Tangga yang dibangun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Sumatra Utara itu lebarnya sekitar 1,20 cm dan berjumlah 780 anak tangganya. Menuju Makam Papan Tinggi yang disebut juga
dengan makam Tangga Seribu dan makam Syeikh Mahmud, yang terletak di puncak
satu perbukitan desa Penanggahan, kecamatan Barus Utara, Kabupaten Tapanuli
Tengah membutuhkan stamina yang tinggi, sebab pendakian di lereng perbukitan
terjal, juga dengan ketinggi yang jarang didapatkan di tempat lainnya. Oleh
karenanya seseorang ke sana membutuhkan stamina dan persiapan yang cukup,
termasuk minuman dan makanan rutinnya, untuk menjaga kemungkinan kelelahan dan
kehausan.
Pertanyaannya adalah siapa
sebenarnya Syeikh Mahmud yang dikebumikan di puncak gunung dengan tarikh
seperti tertera di nisannya. Seperti informasi lisan yang didapatkan, bahwa
kehadiran Syeikh Mahmud dari Arab Hadhratul Maut), telah ikut membuka tabir
sejarah penyebaran Islam di negeri Barus. Ialah yang dianggap raja atau sultan
negeri Barus Mandailing di pantai Barat Sumatera Utara, bertarikh 44 Hijriah,
dan batu nisannya sudah berumur 1400 tahun.
Sebenarnya di Barus bukan hanya
makam Syeikh Mahmud yang menjadi bukti sejarah perkembangan dan kemajuan Islam
di negeri tersebut, tetapi masih banyak situs lain, seperti makam Mahligai di
desa Aek Dakka yang terdapat makam Syeikh Rukunuddin, makam Syeikh Zainal
Abidin, makam Syeikh Siddiq dan lain-lainnya yang tersebar hamper di seluruh
Barus.Makam-makam ini bagi masyarakat Barus menganggapnya sebagai makam para
Aulia, yang terkenal dengan makam 44 Aulia. Berikut gambaran kondisi makam
Mahligai, yang berhasil dikunjungi rombongan penyelidikan dari Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh beberapa waktu lalu.
Menurut keterangan dari satu
penyelidikan sebelumnya, bahwa jumlah
makam di Mahligai dan makam ulama dan orang-orang Muslim kenamaan lainnya
sekitar Barus umumnya mencapai ribuan dan malah puluh ribuan. Hal ini
menandakan di sekitar Barus pada masa lalu, khususnya dalam rentang abad 12-17
M telah pernah hidup dan berkembang masyarakat Islam dengan segala kehebatan
dan kebesarannya. Misalnya saja kalaulah bukan karena kehebatan dan
kebesarannya Syeikh Mahmud, manalah mungkin makam atau kuburannya berada dan
sanggup dikebumikan di satu puncak perbukitan yang tingginya mencapai 215 meter
dari permukaan tanah datarannya. Begitu juga dengan batu-batu nisan yang
terdapat di makam / kuburan tersebut umumnya adalah batu nisan infor dari India
dan paling tidak dari ibu kota kerajaan Aceh Darussalam atau Banda Aceh
sekarang. Semua itu membutuh biaya besar dan kesungguhan serta kepercayaan
masyarakat dan pimpinanny a di Barus ketika itu untuk mewujudkannya kemewahan
dan kemuliaan sehingga berwujud kenyataan historis yang dapat disaksiakan hari
ini.
5. Penutup
Berdasarkan paparan di atas
dapat dipastikan bahwa Barus pada masa lalu berpenduduk mayoritas Muslim dan
merupakan perkampungan dengan pimpinannya juga Muslim. Pelabuhannya yang diramaikan
dan menganut system kehidupan dalam Islam, baik tata pergaulan, kepemimpinan dan regulasi dalam
perdagangan-perekonomian lainnya tentu menganut yang ada dalam Islam pada
umumnya.
Dalam realitas historisnya
kemudian, Barus sejak zaman Kolonial Belanda digerogoti oleh Kristenisasi, dan
realitas demikian berlangsung hingga zaman kemerdekaan RI. Dari kenyataan yang
demikian itulah Barus dan sekitarnya di Tapanuli Tengah pada masa muttakhir
berwujud sebagai Muslim minoritas.
Hamzah al-Fansuri, berdasarkan satu ungkapannya
sendiri melalui satu bunyi syairnya, ada di antara ahli menyebutkan ia
lahir di Syahru Nawi, Siam atau Thailand sekarang. Akan tetapi berdasarkan informasi di Singkil sendiri dan tidak kalah kuat
argumentasinya pula, bahwa ulama ini lahir di Fansur, Singkil. Hanya saja
tanggal dan tahun berapa ia lahir, tidak ada yang mengungkapkan. Kecuali itu,
seperti disebutkan Alwi shihab, sebagaimana perkiraan umumnya penulis bahwa ia
hidup antara tahun 1550-1605 M atau ketika kesultanan Aceh dipimpin oleh dan dari masa sultan Ala’uddin
Ri’ayat Syah hingga awal masa
pemerintahan sultan Iskandar Muda (1606-1636). Begitu juga dengan tahun dan
tempat meninggalnya, para penulis tidak mendapat informasi yang kongkrit, kecuali
itu, ada isyarat dan penulis memperkirakan ia meninggal dunia pada tahun 1607
M. Berkenaan dengan tempat ia meninggal
dan sekaligus makam-kuburannya, menurut informasi masyarakat Aceh Singkil sekarang, adalah di Oboh, dekat Sungai Rondeng Simpang
kiri, Subussalam. Masyarakat mengkleim salah satu makam yang ada di
sana adalah makam al-Fansuri. Setelah
penulis mengamati kelihatannya benar bahwa kuburan ulama ini, sebagaimana
daerah kelahirannya adalah di kawasan Singkil, yang setelah pemekaran berada di
wilayah territorial Kota Subussalam. Lih. Panitia Seminar Internasional Hamzah
Fansuri, Keputusan Seminar, (Singkil: Pemda Singkil, 2002); cp. Yusni
Saby, "Hamzah Fansuri Aset Nusantara", Makalah, (Singkil: Panitian
Seminar Internasional Hamzah Fansuri, 16-18- Janusiari 2002), hlm. 1-3.
Selengkapnya...